#1: Cerita Seorang Guru Baru, Kebutuhan Perempuan, dan Seni Menjadi Ibu

Sejak dua hari yang lalu, kepala saya pening.

Sungguh, Masya Allah peningnya. Saya tidak merasa sakit—namun rasanya kepala saya berat sekali. Seperti sakit, namun juga tidak tahu harus diapakan. Sempat saya berpikir untuk goler-goler saja di dalam rumah, namun tak mampu juga. Namun akhirnya saya tahu kenapa.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_23

Isi kepala saya luber—luber karena banyaknya ilmu baru dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab, akhirnya terjawab juga. Dan sebelum saya sempat berbagi, sudah ada lagi ilmu baru yang saya dapatkan… hingga akhirnya saya tak tahu lagi harus mulai dari mana.

Namun kini, saya akan mencoba memulai. Karena bagi saya, rangkaian cerita yang akan saya bagi telah sungguh mengubah cara saya melihat bagaimana caranya menjadi Orang Tua seutuhnya. Dan di sisi lain, meyakini saya dengan lebih lagi bahwa saya telah completely healed dari PPD yang pernah saya alami.

***

Menjadi seorang Guru, bukanlah keputusan yang saya ambil dalam waktu semalam. Tepatnya, ada sepuluh tahun proses berkarir dan berkarya yang akhirnya membuat hati saya mantap tanpa cela. Menjadikan profesi yang begitu sederhana namun bermakna ini tempat tautan hati saya berlabuh, tanpa rasa ragu yang berarti maupun sedikitpun mengajak berhenti.

Lahir sebagai putri seorang Guru Besar, edukasi bukanlah suatu hal yang asing bagi saya. Ayah saya dikenal sebagai salah seorang pakar hukum luar angkasa yang memulai karir besarnya di McGill University – Kanada, yang hingga kini masih menggunakan paper “Developing Countries And The Use Of Geostationary Orbit”-nya sebagai literatur wajib mahasiswa doktoral di sana. Dan sejak hari-hari terakhir hidupnya, beliau masih saja tidak mau meninggalkan mahasiswanya di Jakarta maupun di Bandung, meski terpaut jarak hingga beratus-ratus kilometer dari kediaman kami.

Di tahun 2005, saya mengenyam pendidikan di Jurusan Desain Interior – FSRD ITB karena ketidaksengajaan. Hingga sekian bulan sebelum memutuskan akan kuliah di mana, saya masih belum tahu akan melakukan apa selulus SMA. FSRD ITB muncul begitu saja di kepala, saat seorang teman dekat yang merupakan senior saya di SMA bercerita tentang serunya bersekolah di sana. Dan satu lagi, karena saya merasa seni dan desain adalah satu-satunya hal yang mampu saya dalami di saat itu.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_113

Empat tahun di jurusan tersebut… saya pingsan-pingsan hingga berkali-kali—sumpah ini enggak bercanda. Jarang tidur, stress karena merasa salah jurusan; you name it-lah. Tapi Ayah saya selalu menguatkan hati saya untuk menuntaskan apapun yang telah saya mulai. Artinya? Saya HARUS selesai. Saya HARUS wisuda. Dan waktu itu saya membuat kesepakatan dengan Ayah; bahwa saya ingin mengambil kuliah master jurusan fashion di London seselesainya saya kuliah di Bandung. Beliau berkata lagi, saya perlu membangun network di Jakarta sebelum kuliah lagi, dan itulah yang membawa saya bekerja sebagai stylist dan jurnalis di Majalah Amica Indonesia dan juga Majalah Dewi sejak 2009 hingga 2011.

Kuliah desain, bekerja di dunia fashion yang malah membuat saya bertemu suami dan menikah, dan kemudian… hamil.

Bagi yang belum pernah mendengar cerita saya dan Matroishka, teman-teman bisa membaca perjalanan saya di sini.

Singkat cerita… 5 tahun berusaha dan menjadi seorang so-called CEO membuat saya berpikir ulang tujuan hidup saya. Purpose saya dalam hidup. Apa yang sekiranya saya butuhkan dan inginkan.

Dan di sinilah cerita saya sebagai seorang Guru dimulai.

 

Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab 

Seperti banyak sekali Ibu di luar sana, saya memulai hari pertama saya sebagai Ibu dengan clueless. Sayangnya, tidak ada manual book menjadi Ibu. Bukannya saya tidak mencari jawaban—I went everywhere, searched here and there for answers… dan sayangnya banyak sekali pertanyaan yang memang tak pernah terjawab. Memaksa saya untuk terpuruk dan akhirnya merasa bersalah berkepanjangan, membuat hari-hari saya dihantui rasa tak berhasil selama bertahun-tahun lamanya. Dimana saya terus berusaha menyemangati diri sendiri dan mengingatkan hati betapa saya telah mengerahkan segalanya dan betapa diri ini begitu berharga… namun tak pernah berhasil… hingga akhirnya saya tersesat dalam Postpartum Depression—lengkapnya ada di sini.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_34

Saya pernah menghabiskan hari-hari saya sebagai startup maker. Mengantar anak sekolah, mengecup dan memeluk mereka sebelum masuk kelas, kemudian melanjutkan hari saya dengan menuju kantor dengan kopi andalan di tangan. Disambut perencanaan matang dan juga misi-misi baru yang siap di laksanakan setiap harinya. Tapi kemudian…?

Ini mungkin terdengar klise—dan mohon dicatat, saya masih sangat kagum pada wanita-wanita entrepreneur di luar sana; yang mampu menjadi Ibu yang bahagia sekaligus menjaga venture mereka berputar dengan operasi optimal tanpa henti. Sungguh… saya salut sekali! Namun saya—rasanya… rasanya saya memang tak mampu. Dan di sanalah saya sadar akan titik plus dan minus saya—lalu kemudian memilih langkah selanjutnya.

Tentunya ada banyak sekali pertimbangan saat saya menimbang-nimbang. Meninggalkan usaha yang selama ini telah berkontribusi begitu banyak terhadap keberlangsungan gengsi saya, and also secara materiil? Yeah, I am not ashamed to put it that way. Lalu nanti apa? Mengandalkan suami aja, dong? Jujur saja, untuk pertama kalinya pada waktu itu saya merasa blank, tetapi in a good way.

Untuk pertama kalinya saya begitu bosan membuat rencana. Saya serahkan semua kepada Sang Maha Pencipta.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_123

 

Memutuskan Untuk Melanjutkan Training Tumbuh Kembang Anak

Di sekolah anak saya yang hingga kini tak ingin saya sebut namanya, terdapat sebuah pelatihan yang ditujukan pada orang tua murid—namun dijadikan pula patokan dan acuan pendidikan anak di berbagai sekolah berbasis sentra di seluruh Indonesia. Total-total ada 7 seri dalam pelatihan tersebut, yang rata-rata menghabiskan waktu selama 1 minggu dalam 5 hari, sejak jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Lama? Sungguh lama sekali—apalagi saat kita belum mampu memahami. Sekolah mewajibkan Orang Tua murid untuk ikut pelatihan seri pertama saja; selanjutnya, bebas saja mau ikut atau tidak.

Sewaktu Athar pertama memasuki sekolah tersebut, saya langsung mengikuti pelatihan pertama semata-mata demi melaksanakan kewajiban. Ada banyak fakta dan pencerahan yang menampar saya di dalam materi yang didapat, namun hidup masih memaksa saya untuk mengabaikan kehausan saya akan pengetahuan dan panduan… dimana pada akhirnya saya merasa bahwa anak saya bisa menunggu.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_41

Seperti teman-teman ketahui, Athar adalah anak yang cukup challengingso if you’re a Parent or Mother of a challenging child, you’re not alone—namun saat itu hati saya belum tergerak untuk mengikuti pelatihan secara berkelanjutan… dan semua hanya karena saya memilih untuk menunda, because I thought life can’t wait.

Dan setelah saya akhirnya menutup Matroishka dan memilih untuk melanjutkan pelatihan saya ke seri kedua dan ketiga, saya menyadari kesalahan saya.

Life CAN wait for sure—it was our children that could not. 

Dan di sanalah saya menyadari bahwa kebutuhan saya saat itu adalah ada untuk anak saya, terutama Atharjahja. Bagi yang belum membaca, I did have some obstacles on helping him reach the right milestones at the right age; bisa dilihat di sini yaa 🙂

And then, that’s that—I decided to continue my life as a teacher.

 

Between Glamorous Fashion Pieces, Life as a Businesswoman, and Living as Babies’ Companion 

Sempat saya menimbang-nimbang rutinitas saya. Apa yang pernah saya jalani dahulu di kala remaja—I was a spoiled brat back then, betul-betuk Daddy’s Little Girl yang kerap memimpikan hidup gemerlap di kala saya dewasa. Sesuatu yang membawa saya pada pekerjaan pertama saya di majalah lifestyle. Dan tak dipungkiri pula, bagaimana hari-hari saya pernah dihabiskan dengan pemotretan hingga collection preview dan juga trunk show—sesuatu yang terlihat begitu sempurna, hingga akhirnya saya hamil… dan merasa nyaris tak punya tenaga untuk menjalani semuanya karena morning sickness yang luar biasa.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_117

Lalu Matroishka, dimana pada akhirnya saya belajar untuk memutar uang dalam sebuah bentuk investasi… dengan menciptakan sebuah cerita dan persona melalui sebuah lini busana hamil dan menyusui yang berperan sebagai teman pada masa-masa awal menjadi Ibu yang luar biasa menantang. Di sana saya belajar merencakan, melihat peluang, membuat strategi dan mengeksekusi… hingga akhirnya melihat hasil dan mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul, lalu kemudian menciptakan solusi baru lagi yang kemudian menjadi rencana baru yang lebih baik.

Semua berlangsung hingga akhirnya saya menemukan sebuah titik yang 5 tahun sebelumnya amat sangat saya inginkan, lalu terasa hampa saat semuanya ada di tangan.

Dan sekarang; sebuah rutinitas yang luar biasa. Mengajar sejak pukul 7 pagi hingga 16 sore yang mengharuskan saya terbangun total sejak subuh dan tetap bersama anak-anak hingga selesai… sebuah rutinitas yang dimulai begitu dini dan berlanjut hingga waktu malam tiba. Pekerjaan yang mengharuskan saya bersama anak didik hingga 8 jam setiap harinya, dan dilanjutkan dengan anak-anak saya sendiri saat saya berada di rumah—pekerjaan yang terdengar paling lelah sekaligus paling tak bergengsi, namun jujur saja bagi saya—paling bermakna.

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_66

Secara logika, mungkin keputusan saya tidak akan bisa diterima begitu saja. Terutama terkait usaha saya, yang sebenarnya tengah dalam titik terbaiknya ketika saya ‘selesaikan’.

Namun mungkin… mungkin saja… saya memang sudah terlalu lama terbawa oleh hidup, sehingga melupakan adanya hati. Selama ini saya kian berlari, tanpa peduli apa yang sebenarnya dicari oleh diri. Seluruh waktu saya seakan habis karena saya ingin mendaki dan mendaki, sehingga lupa akan esensi.

Ketika untuk pertama kalinya saat saya berhenti berencana, saya mencoba untuk mendengar… mendengar dan meresapi lekat-lekat apa yang sesungguhnya diinginkan oleh nurani saya. Mungkin ya, dengan menutup telinga dan mata—sambil menjajaki logika yang selama ini tertutup oleh keindahan semu yang ada di depan mata. Dan ya,  akhirnya saya temukan juga titik bahagia yang sesungguhnya selama ini saya cari.

***

Untukmu yang membaca—sekedar bertanya, kapankah terakhir kali kamu menutup mata dan telinga; mendengar apa yang sesungguhnya diungkapkan oleh hati yang bersuara?

prisya_arristy_ratnasuri-tokyo-s1_95

Cobalah. Dan tenang… tidak ada kata terlambat. Enggak perlu saya ceritakan soal Colonel Sanders, kan?

 

Cheers,

img_7568

 

 

PS: Anggaplah tulisan ini sebuah Prakata sebelum saya mulai berbagi ilmu-ilmu yang saya dapatkan. Seperti biasa hanya dengan satu tujuan… semoga saja apapun informasi yang saya bagikan nanti bisa memberi manfaat 😉

All Photos – Courtesy of Sweet Escape

One Comment

Leave a comment